Tidak biasanya saya menulis tentang
keluarga di situs ini, tetapi karena ada sebuah penerbitan yang minta
saya berkontribusi untuk sebuah buku kado pernikahan – maka tulisan
khusus ini saya buat. Hari ini (02/10/12) tepat dua puluh lima tahun
sejak kami menikah (02/10/87), saya mestinya menulis tentang suka duka
pernikahan setelah seperempat abad berlalu. Tetapi sungguh di luar
dugaan, saya tidak bisa mengingat kapan ada duka dalam pernikahan ini.
Ndak percaya ?
Saya sendiri semula tidak percaya kalau tidak pernah ada duka dalam
pernikahan saya, pasti ada – pikir saya. Saya coba ingat-ingat tetap
tidak menemukan, yang saya temukan malah ingatan saya pada sebuah hadits
panjang yang penggalannya adalah sebagai berikut : “
Kemudian
didatangkan seorang penghuni jannah yang paling sengsara sewaktu di
dunia, lalu ia dicelupkan sekali celupan di jannah, kemudian ia
ditanya,” Adakah engkau merasakan penderitaan? adakah engkau pernah
merasakan kesengsaraan?” Ia menjawab,”Tidak, demi Allah wahai Rabbku.
Aku tidak merasakan penderitaan sedikitpun dan sama sekali belum pernah
mengalami kesengsaraan.” (HR Tirmidzi)
Barangkali seperti penghuni jannah tersebutlah yang kami rasakan,
tentunya juga pernah kami merasakan duka selama 25 tahun menikah –
tetapi karena begitu lebih besarnya kebahagiaan itu sehingga ia mampu
menutupi (overwhelm) duka-duka kecil yang ada selama dalam perjalanan.
Maka bila pengalaman ini berguna bagi para pasangan baru atau yang
relatif baru, berikut adalah beberapa ‘catatan perjalanan’ seperempat
abad itu :
Fokus Membangun Keluarga Bukan Pada Meriahnya Pesta…
Banyak yang lucu-lucu dalam pernikahan kami yang serba sederhana, di
antaranya adalah tiga hari menjelang pernikahan kami, (calon) mertua
bertanya kepada (calon) istri saya : “
Lha bojomu iki endi to nok, sido opo ora kawine – lha (calon) suamimu itu mana sih neng, jadi apa tidak nikahnya ?”.
Ini karena kami hanya berkomunikasi lewat surat sebelum hari H, tidak
ada acara lamaran formal dan tidak ada rencana acara pesta yang meriah,
maka wajar kalau calon mertua was-was jadi tidaknya perkawinan kami –
sampai tiga hari sebelumnya.
Dalam perjalanan di bus malam menuju rumah calon mertua, saya baru
ingat bahwa saya belum menyiapkan mas kawin. Lantas ketika bus malam
berhenti, saya melihat apa yang ada di sekeliling – saya lihat ada
sajadah yang dijual di toko pinggir jalan, maka itulah yang saya beli
untuk mas kawin.
Tapi rasanya ndak pas kalau hanya sajadah ini yang saya gunakan
sebagai mas kawin, maka saya tambahi dengan uang sebesar Rp 3,925,- .
Ketika mas kawin ini saya ucapkan pada waktu
ijab-qobul, orang-orang pada berbisik “
kuwi mesti ono maknane – jumlah uang (yang ganjil) itu pasti ada artinya”. Dalam hati saya juga berbisik balik, “
iyo
pancen ono maknane – maknane pancen ora duwe duwit ! iya memang ada
maknanya – maknanya ya sederhana saja , ya memang ndak punya uang !”.
Orang Jawa pada umumnya memingit penganten nggak boleh bepergian
sampai beberapa hari, tetapi karena saya hanya cuti satu hari – yaitu
hari Jum’at 2 Oktober 1997, hari H pernikahan kami, sehari setelah
pernikahan itu – istri sudah langsung saya boyong ke Jakarta –
perjalanan pernikahan yang sesungguhnya mulai saat itu.
Cukup Dengan Yang Sedikit…
Tidak ada karir yang langsung menanjak dan rumah yang langsung bagus,
semua harus mulai dari awal. Maka wajar saja kalau keluarga baru
memiliki rezeki yang pas-pasan, tetapi rezeki yang sedikit itu sudah
dijamin kecukupannya oleh Allah Yang Maha Tahu atas apa yang kita
butuhkan.
Istri saya tidak pernah tahu dan tidak ingin tahu penghasilan saya
selama 25 tahun ini, ini baik untuk dia dan baik untuk saya. Baik untuk
dia karena penghasilan suami itu tidak pernah mengotori hatinya, baik
untuk saya karena agar saya bisa melaksanakan kewajiban lain secara
lebih leluasa seperti kepada orang tua, kaum kerabat dlsb.
Tambah Anak Tambah Rezeki…
Entah ini ungkapan dari mana asalnya, tetapi karena ini sejalan
dengan janji Allah akan rezeki dariNya untuk setiap anak-anak kita –
maka siapa yang lebih memenuhi janji dari Dia ?.
Anak demi anak lahir, bersamaan dengan itu pula rezeki bertambah.
Ketika anak pertama lahir, saya diangkat jadi manajer di perusahan
tempat bekerja. Anak kedua lahir bersamaan dengan pengangkatan jadi
General Manajer di perusahaan yang lain.
Anak ketiga lahir di puncak krisis keuangan Indonesia 1998, tetapi
saat itu saya sudah beberapa tahun menjadi direksi perusahaan publik di
negeri ini, sehingga saya beri nama belakang anak ketiga ini dengan
Qona’ah sebagai bentuk rasa kecukupan dan kesyukuran atas apa yang
diberikan olehNya.
Ikan Tidak Menjadi Asin Di Laut…
Di jaman itu, tidak mudah untuk bisa memilih tempat bekerja yang aman
bagi keimanan dan ketakwaan kita. Enam tahun saya pernah bekerja di
perusahaan asing yang sangat sukses di bidangnya, tetapi juga sangat
rusak lingkungannya. Di perusahaan itu perselingkuhan meraja-lela, dari
bawahan sampai pimpinan perusahaan – rusak semua keluarganya. Rasanya
seperti selamat dari tepi jurang neraka ketika berhasil keluar dari
perusahaan itu sebelum ikut-ikutan rusak.
Bersamaan pindah ke perusahaan yang lebih bermoral, tempat tinggal
pindah, pertemananpun berubah. Dari sini saya belajar betapa rentannya
keluarga-keluarga muda di kota besar, bila mereka tidak pintar-pintar
memilih lingkungan kerja, lingkungan pergaulan, lingkungan pendidikan
untuk anak-anaknya dst.
Pindah Kwadrant…
Sebagian karena berusaha memilih lingkungan kerja yang lebih baik,
sebagian juga karena keinginan untuk aktualisasi diri – saya sepakat
dengan istri untuk mengakhiri bekerja di perusahaan orang lain 10 tahun
lebih awal dari rata-rata usia orang pensiun.
Hari masih siang ketika untuk pertama kalinya dalam 21 tahun karir
pekerjaan, saya pulang sebelum waktunya – karena hari itu pekerjaan saya
resmi berakhir ketika ketok palu RUPS perusahaan menutup rapat.
Yang pertama saya lakukan adalah memberitahu istri – untuk hati-hati dengan suaminya yang bisa jadi sensi – karena
post power syndrome. Saya bilang sama istri saya : “
ma,
kata orang —suami-suami yang pensiun itu meskipun sudah tidak dibuat
stress lagi oleh perusahaan, tetapi justru istrinya yang membuat stress”. Istri saya kemudian menjawab : “
Insyaallah tidak pa…”.
Ternyata saya tidak sempat bener-bener pensiun, justru keesokan
harinya rumah saya sudah berubah menjadi kantor. Tamu-tamu terus
berdatangan untuk berbagai urusan – sampai suatu saat kami memutuskan
rumah itu terlalu rame dan mulai kehilangan
privacy-nya sebagai
rumah, sebelum sempat mengganggu ketenangan keluarga di rumah – kami
memutuskan untuk menerima tamu-tamu kami di rumah lain yang kami siapkan
khusus untuk ini.
Pindah kwadrant dari pegawai menjadi
self-employer, business owner dan kemudian investor itu berat dan beresiko. Maka diperlukan dukungan dan pengertian secara
all out dari pasangan kita.
Paduan Pengalaman Kita dan Perasaan Istri Kita…
Jangan pernah
under estimate dengan perasaan istri Anda…,
itulah pengalaman saya. Meskipun di dunia pekerjaan dan usaha kita punya
pengalaman dan pengetahuan yang lebih, perasaan istri akan baik
buruknya suatu keputusan usaha atau investasi sungguh merupakan sesuatu
yang perlu dipertimbangkan.
Logikanya begini, bila perasaan dia baik – maka dia akan ikut berdo’a
untuk kesuksesan keputusan usaha kita. Sebaliknya kalau perasaan dia
tidak baik, berdo’a-pun tidak akan sepenuh hati.
Maka meskipun seluruh keputusan usaha atau investasi itu kita yang memutuskan, kita tidak seharusnya mengabaikan
feeling istri
kita. Ketika kemampuan dan upaya kita itu terbatas, do’a kita bersama
istri kita insyaallah bisa menjadi penyebab turunnya pertolonganNya.
Harapan Jauh Kedepan…
25 tahun telah berlalu, kita tidak pernah tahu apakah kita masih
punya waktu untuk 25 tahun berikutnya. Maka ketika terjaga di malam
hari, saya suka ‘iri’ dengan calon bidadari surga (insyaallah) yang
berada di samping saya ini. Begitu tenang dan nyenyak tidurnya, seolah
tiada beban kehidupan di pundaknya. Dia insyaallah bisa bener-bener
sampai surga karena saya suaminya selalu ridla padanya. Sedangkan saya
sendiri, siang malam sejak usia 40 tahun terus berdo’a agar dimudahkan
dalam beramal yang diridlai-Nya (QS 46 :15), saya perlu terus dan terus
berdo’a karena tidak pernah tahu ‘amalan saya yang mana yang
benar-benar bisa mendatangkan ridla-Nya itu.
Tetapi lagi-lagi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menghibur saya dengan janjinya : “
Seseorang akan bersama orang yang dicintainya”.
(HR. Bukhari dan Muslim). Saya mencintai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam dan beliau tempatnya di surga, saya mencintai istri saya dan
insyaallah tempatnya juga di surga. Saya mencintai anak-anak yang
solehah, insyaallah tempat mereka di surga. Saya mencintai teman-teman
saya yang soleh dan solehah, mereka semua tempatnya juga di surga –
masa’ saya tidak diijinkan olehNya untuk bersama mereka ?”
Rabbanaa wa aatinaa maa wa ‘ad tanaa ‘alaa rusulika wa laa tukhzinaa yaumalqiyaamah innaka laa tukhliful mii’aad.
Oleh:
Muhaimin Iqbal
Ketua Yayasan Al-Fatih Pilar Peradaban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar